MONUMEN POLRI NGANJUK
LOKASI GUGURNYA 12 PEJUANG POLRI.
Setelah perjalanan kurang lebih 20 menit dari jalan raya Saradan, Madiun. Sekitar magrib jam setengah 6 petang saya harus pindah lokasi, karena berharap tidak kemalaman pulang ke Blitar. Memang rencana saya tidak ke Monumen Polri Ngadiboyo, tujuan saya hari Sabtu, 25 Juni 2022 kemarin hanya ke jalan raya Saradan. Tetapi, seperti biasa istri saya menyarankan bikin dua video di lokasi berbeda, mumpung kami keluar kota. Setelah saya pikir lokasi sejarah mana yang dekat dengan posisi kami, dan mengulik-ngulik Google Maps. Akhirnya saya tertuju dengan Monumen Polri Ngadiboyo. Kami sempat kesasar sejauh 1 km untuk menuju Monumen tersebut. Sekitar pukul 18:00 lebih saya sampai di Kota Nganjuk sebelah barat.
Google Maps memberikan petunjuk ke arah Monumen sejauh kurang lebih 10 km dari posisi kami. Dengan kecepatan motor hanya 40-50 km, kami membutuhkan waktu kurang lebih 20-30 menitan. Karena sesekali kami memang sengaja pelan-pelan, sambil menikmati daerah Nganjuk. Seumur-umur saya baru pertama kali ke daerah Nganjuk, selebihnya hanya lewat saja menggunakan bus atau kereta ketika saya pulang ke asal saya di Jakarta.
Sekitar pukul 19:30 kami sampai di Monumen Ngadiboyo, gelap sekali dilokasi. Tidak ada penerangannya! Angin kencang selalu berhembus setiap beberapa menit, karena pematang sawah yang luas di area Monumen. Sebenarnya saya kedinginan waktu itu..kepala juga rasanya pusing sekali. Sudah lama tidak perjalanan jauh menggunakan motor, dan hal tersebut juga dirasakan oleh mas Shidiq, cameramen saya. Kami segera mampir di warung kopi sebelah selatan jalan, pojok perempatan. Kebetulan Monumen ini hanya beberapa meter saja dari perempatan.
Suasana warung kopi hanya ada sekitar empat pembeli, bapak-ibu si pemilik warkop dan anaknya. Segera istri memesan teh panas untuk kami semua, kebetulan warung ini tidak ada menu makan dimalam hari. "Mas, istirahat dulu ya. Pusing kepalaku" kata saya kepada mas Shidiq. Dan ia pun juga menjawab yang sama dengan ekspresi raut wajah yang kelelahan, mata memerah karena debu jalanan. Beberapa menit kami meneguk teh dengan harapan rasa dingin yang menusuk tulang segera pergi, saya ingat persis suasananya mirip di daerah Malang ataupun di puncak Bogor. Kamipun juga mengganjal perut dengan beberapa roti bungkus. Sebenarnya selama perjalanan ke Monumen Polri Ngadiboyo tadi, kami ingin mampir beli makan dulu. Tetapi, saya pikir nanti kalau makan duluan keburu malam. Ya sudah... berharap disekitar Monumen ada warung kelontong atau toko untuk membeli snack mengganjal perut. Syukur Alhamdulillahnya...selatan Monumen ada warkop berbilik bambu. Suasana desanya sangat kental disini.
Monumen Polri Ngadiboyo yang gelap sekali saat kami berkunjung kesana. |
Istri saya membuka percakapan kepada ibu pemilik Warkop (sampai detik ini kami lupa tidak bertanya nama si Ibu pada saat itu) tentang Monumen Polri ini. Si ibu berkata dengan bahasa Jawa halus yang kental, "Inggih mbak...disini dulu bekas gugurnya tentara", langsung sama suaminya ditimpal "Polisi buk! Uduk tentara (Bukan tentara)". Kami pun tertawa bersama. Kemudian istri saya menambahkan lagi, "Bu, semisal kita wawancara sebentar boleh ? Kebetulan ibu kan asli sini, biar kami ada informasi tambahan" lantas si Ibu menjawab sambil tersenyum ramah, "Sama mbah Polo aja mbak, iya namanya terkenal dengan panggilan mbah Polo. Yang megang Monumen, juru kunci Monumen". Kami pun saling memandang, takut merepotkan si Ibu dan juru kunci Monumen, karena ini juga sudah malam. Dan kami hanya ingin shoot sebentar saja niatnya. Jadi dari sini, tidak ada rencana bahwa bikin video bersama juru kunci Monumen. Rencana kami hanya seperti biasa, di lokasi Monumen saya cukup mengoceh sebentar tentang sejarahnya. Tanpa lama-lama, si Ibu yang terlihat berusia sekitar 45 tahun tersebut langsung meminta kunci motor kepada suaminya untuk memanggil sang penjaga Monumen. Sungguh...ini diluar ekspetasi kami. Kami juga sungkan sekali, karena si Ibu juga merelakan meninggalkan warungnya demi kami untuk memanggil penjaga Monumen yang dikenal oleh warga sekitar dengan nama "Mbah Polo".
Selang beberapa menit kemudian, sekitar 10 menitan si Ibu datang dengan seorang pria berambut putih berpakaian rapi berbatik biru dan celana bahan hitam khas bapak-bapak berpakaian rapi pada umumnya. Kami pun langsung menyalaminya, berbincang-bincang sebentar dan sangat ramah sekali beliau ini. Ternyata nama aslinya adalah Bpk. Sunaryo berusia 51 tahun, beliau juga menjabat sebagai Ketua RT di Desa Ngadiboyo sejak tahun 1987 dan menjaga Monumen sejak dibangun sejak tahun 1990. Luarrr biasa... berarti beliau memang sangat dipercaya oleh masyarakat sekitar. Tanpa lama-lama, saya, pak Sunaryo, mas Shidiq, ditemani anak dan bapak pemilik warkop mengantarkan ke Monumen. Sungguh...kami disambut sangat ramah dan baik oleh warga Desa Ngadiboyo ini. Suasana Monumen sangat gelap sekali, untung saya membawa lighting penerang untuk shoot kali ini. Biasanya saya memang tidak membawa lighting, karena saya memang shoot di siang hari saja. Secara Album Sejarah Indonesia bukan konten penelusuran malam hari. Entah kenapa sewaktu ingin berangkat, saya ingin sekali membawa lightning. Mungkin semuanya memang sudah "diatur" kalau saya akan ke Monumen Polri Ngadiboyo. Kebetulan sekali tanpa direncanakan, penelusuran kali ini bertepatan untuk memperingati HUT Bhayangkara ke 76 tahun.
Pak Sunaryo membukakan gerbang Monumen dari sebilah bambu. |
Angin kencang berhembus, dingin sekali. Sampai sebenarnya dalam video saya menahan rasa dingin, rencananya saya ingin memakai jaket. Tapi, mas Shidiq menyarankan jangan pakai jaket. Selama shoot juga kepala pusing, kelelahan, begitu juga dengan mas Shidiq. Serius...kami berdua sebenarnya tidak fokus di penelusuran sejarah kali ini. Bahkan saya lupa tidak menjelaskan sejarah secara detailnya, untung saja dalam video pak Sunaryo sudah membahas sejarah yang ada dalam Monumen secara singkatnya. Maka dari itu saya akan jelaskan Sejarah peristiwa yang pernah terjadi di Monumen Ngadiboyo dari artikel http://jejak-nganjuk.blogspot.com sebagai berikut :
Sekitar tengah malam, patroli hingga sampai Dusun Alas Jalin, perbatasan Nganjuk – Madiun. Para patroli istimewa bertemu tentara Belanda yang bermarkas di wilayah Saradan, Kabupaten Madiun. Akhirnya terjadi kontak senjata antara kedua belah pihak. Sebenarnya pihak pejuang menyadari kekuatan kedua belah pihak tidak berimbang. Di pihak musuh (Belanda) dilengkapi senjata lebih modern dibanding senjata yang dimiliki para pejuang, jenis US Karabijn 95. Tak heran, para pejuang berhasil dipukul mundur dan patroli dihentikan. Para pejuang kembali ke markas semula di Loji, Dusun Turi, Desa Ngadiboyo, sekitar pukul 03.20 WIB. Mereka beristirahat hingga tertidur karena kelelahan setelah melakukan ptroli.
Dua orang tentara Belanda terus mendobrak masuk dan mengarahkan lampu “belor” ke seluruh ruangan. Seorang membawa senjata lengkap sambil menenteng lampu “belor, satunya lagi mengawal temannya dengan terus berteriak, “keluar…keluar…”. Sepasukan lainnya berjaga-jaga di luar Loji.
Saking jengkelnya, akhirnya tentara Belanda berhasil meyeret para pejuang ke luar ruangan untuk berkumpul di halaman. Mereka berdiri berjajar sambil mengangkat tangan. Aksi tutup mulut dari pihak para pejuang terus terjadi hingga menyulut kegeraman pihak tentara Belanda. Lebih-lebih, saat ditanya, apakah di dalam Loji telah tersimpan senjata, tidak mendapat jawaban. Tiba-tiba, Belanda memberondongkan amunisinya ke tubuh para pejuang. Karuang saja, mereka menjadi kocar-kacir, dan bergelimpangan bersimbah darah segar. Sebanyak 12 orang meninggal di tempat, tiga orang luka berat, dan dua orang berhasil melarikan diri. Selesai melakukan penyerangan, Tentara Belanda kembali ke markasnya, di Saradan.
Tiga korban luka berat, yakni Lasimin, Sukidjan alias Oeripno, dan Suparlan. Sedangkan dua pejuang yang berhasil lolos, yakni Agen Polisi II Ramelan dan Agen Polisi II Suripto. Ramelan kabur dari kepungan tentara Belanda dengan membobol pintu belakang Loji. Mereka bersembunyi dalam parit belakang Loji, lalu berlari dengan membawa senjata rekan – rekannya yang telah gugur ditembak tentara Belanda. Ramelan berlari menuju Pos Wedegan, Kecamatan Rejoso untuk minta bantuan Pembantu Inspektur Polisi I Pagoe Koesnan.
Bersamaan suara keras tembakan dari arah Desa Ngadiboyo, di tempat lain, Kesatuan Batalyon Guritno langsung bergerak mencari sumber ledakan. Dalam perjalanan sekitar 8 kilometer, salah satu anggota batalyon Guritno, Satimin menghampiri warga masyarakat sedang membawa tiga korban luka berat menuju Pos Kesehatan Tentara di Desa Ngujung, Kecamatan Gondang. Saat ditanya, salah satu korban menjawab, “Saya korban pertempuran Turi.”
Menerima laporan, Pagoe Koesnan langsung langsung bergerak menuju ke Loji Dusun Baleturi Desa Ngadiboyo bersama sejumlah warga Rejoso. Mereka langsung menolong korban yang masih hidup dan mengevakuasi jenazah para pejuang yang gugur. Evakuasi berlangsung selama sekitar dua jam tersebut, dipimpin Kepala Polisi Kabupaten Iptu. Purn. Wiratno Puspoatmojo. Korban hidup dilarikan ke Pos Kesehatan Tentara di desa Ngujung – Gondang. Sedangkan, pejuang yang gugur, jenazahnya dimakamkan di Desa Balonggebang Kecamatan Gondang. Pertempuran para pejuang polisi istimewa melawan tentara Belanda, 15 April 1949 tersebut dikenang sebagai “Tragedi Ngadiboyo”. Sedikitnya 12 pejuang polisi meninggal, 3 luka berat, dan dua selamat, di lokasi (Loji milik Perhutani) Dusun Baleturi, Desa Ngadiboyo, Kecamatan Rejoso. Untuk mengenang jasa perjuangan para polisi istimewa yang gugur mempertahankan kemerdekaan RI, 15 di lokasi tersebut dibangun sebuah monumen “Tragedi Ngadiboyo”.
Dalam pertempuran Ngadiboyo, 12 pejuang Polri gugur, yaitu; (1) Agen Pol Kelas II Bagoes, (2) Agen Pol Kelas II Diran / Sogol, (3) Agen Pol Kelas II Laiman, (4) Agen Pol Kelas II Soekatmo, (5) Agen Pol Kelas II Moestadjab, (6) Agen Pol Kelas II Soemargo, (7) Agen Pol Kelas II Sardjono, Agen Pol Kelas II Saimun, (8) Agen Pol Kelas II Samad, (9) Agen Pol Kelas II Masidi, (10), (11) Agen Pol Kelas II Simin, dan(12) Agen Pol Kelas II Musadi.
Korban luka berat; (1) Agen Polisi K II Sukidjan / Oeripno, (2) Agen Polisi K II Lasimin, (3) Agen Polisi K II Suparlan.
Korban yang masih hidup dan selamat; Agen Polisi K II Ramelan dan Agen Polisi K II Suripto.
Tiap tahun, bertepatan dengan HUT BHAYANGKARA, 1 Juli selalu dikenang kembali jasa-jasa mereka sebagai para pejuang bangsa dalam rangka mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bertepatan 1 Juli pula, Polres Nganjuk beserta jajaran selalu melaksanakan upacara ziarah nasional di monumen “Tragedi Ngadiboyo”.
Nama 12 pejuang Polri yang gugur di lokasi yang kini berdiri sebuah Monumen. |
Kami shoot di Monumen kurang lebih sekitar 15 menitan saja, karena gelap sekali di area Monumen Polri ini. Pak Sunaryo mengatakan, kalau lampu di Monumen sering mati karena dirusak anak-anak saat bermain bola disekitar Monumen. "Biasanya memang terang kalau malam hari" ujar beliau. Entah ya...di Monumen ini walaupun terjadi sejarah memilukan dengan gugurnya ke-12 pejuang dari Polri. Membuat saya betah sekali di lokasi tersebut, saya merasakan "nyaman" dan "adem" sebenarnya di Monumen ini. Walaupun kepala pusing dan badan kelelahan perjalanan jauh yang sudah lama tidak saya lakukan. Saya selalu yakin, di lokasi-lokasi mana pun tempat gugurnya para pejuang, saya selalu merasakan hati yang tenang dan nyaman. Dalam prinsip saya mereka gugur karena berjuang membela negara dari penjajah, bagi saya mereka "syahid" seperti apa yang dikatakan dalam agama saya. Jadi saya tidak pernah merasakan ketakutan atau was-was di lokasi-lokasi bersejarah yang berkaitan dengan gugurnya pejuang terdahulu. Dan juga area Monumen Polri Ngadiboyo ini bersih terawat. Sudah sepatutnya siapapun kita sebagai Generasi bangsa merawat lokasi-lokasi bersejarah maupun peninggalan sejarah lainnya.
Bpk. Sunaryo (51) penjaga Monumen Polri Ngadiboyo. |
Setelah shoot, kami masih mengobrol-ngobrol dengan pak Sunaryo sampai sekitar 30 menitan. Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 21:00 WIB, kami berpamitan pulang kepada pak Sunaryo, si Ibu dan bapak pemilik warung serta anaknya. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada mereka semua, sudah menyambut kami dengan ramah dan baik. Suatu pengalaman yang tak terlupakan, saya juga berharap suatu hari bisa mampir ke desa Ngadiboyo lagi dan sowan ke pak Sunaryo. Saya tidak lupa juga meminta nomor HP beliau, jika sewaktu-waktu saya ingin berkunjung lagi. Segera kami bersiap melanjutkan perjalanan pulang ke Blitar, yang harus kami tempuh selama 3 jam lamanya. Pak Sunaryo masih tetap berdiri mengantarkan kepergian kami, sampai kami tidak terlihat dalam pandangannya. Itulah kebiasaan orang tua zaman dulu mengantarkan kepergian tamunya, sampai tamu tersebut tidak terlihat lagi dalam pandangan mata sang tuan rumah...
Perjalanan pulang dimulai, rasa lelah dan capek menyelimuti kami. Anak perempuan saya yang berusia 4,5 tahun masih belum tidur juga malam itu. Lantas kami mampir makan malam di kota Nganjuk. (Tamat)
Komentar
Posting Komentar